Di
sini saya dididik menjadi manusia. Saya mengalami 2 kepala sekolah. Pak Wilem
Wara (Sukutokan) dan Pak Rofin Kopong Tupen (Lamapaha), ayah dari Anton Doni
Dihen. Guru agama Islam saya adalah pak Ridwan Bapa Duli dari Weranggere,
Witihama.
Guru
lain yang terkenal galak tapi baik adalah Pak Bone Beda dari Adobala
(almarhum), Pak Ismail Lete dari Pepak dan Pak Usman Kopong dari Witihama, tak
lupa guru olah raga pak Burhan Belo (Lambunga) dan Pak Sintu (Lambunga). Tanpa
mereka semua, tentu saya tak bisa menulis kisah ini.
Dulu
sekolah ini disebut sekolah Islam karena muridnya 99 persen Islam. Sementara
yang Katolik sekolah di SDK di sebelahnya. Ada juga yang Katolik tapi biasanya
karena bermasalah di sebelah. Sebaliknya juga begitu.
Meski
sekolah negeri, gedung SDN Lambunga hanyalah sebuah gubuk reot, berlantai
tanah, dinding bambu dan beratap daun kelapa. Celakanya lagi, ka'u alias daun
kelapa ini menjadi tanggungan kami murid-muridnya. Nasib-nasib... lokasi sekolah
seperti yang ada sekarang ini, tapi agak ke atas lagi dan posisinya memanjang
timur ke barat. Karena gubuk reot ini mau ambruk, maka sejak kelas IV, kami
pindah ke Balai Desa. Di sini ternyata masih kurang kelas sehingga dibangunlah
ruang kelas darurat untuk kelas 5 dan 6, tentu berdinding bambu, lantai tanah dan
beratap ka'u alias daun kelapa.
Ketika
kelas 6 SD, kami tinggal bertujuh: dari Pepak ada saya dan Nuho, dari Lambunga
ada Lebu, Tamrin (almarhum), Kelong dan dari Wuhung Lanang Useng dan Bapa Nur.
Tetapi menjelang ujian akhir, Nuho malah keluar. Tinggalah kami berenam sampai
tamat sekolah di Balai Desa tadi.
Di
rumah Guru Ehe (Hendrik Ehe Beren, Redontena), guru kelas VI saya waktu itu,
saya pernah melihat foto kami berenam bersama pak guru ini. Kalau foto itu
masih ada, wow….. betapa senangnya kalau aku bisa scan dan menjadi dokumen
pribadi saya.
Pertama
kali sekolah sebenarnya saya masuk SDK Pepageka tapi karena kepala sekolahnya
terlalu “galak” padahal paman sendiri (Guru Liku), akhirnya saya keluar. Lalu
diajak Pak Wilem Wara pindah ke SDN Lambunga. Belakangan baru saya tahu, Pak
Wilem Wara ini ternyata sepupu ibuku karena nenek saya Bengan Tupen dan nenek
Tuto Laba (ibu Guru Wara) adalah saudara kandung, dari “darah” Boro Bebe di
Witihama. Pantesan, dia tak rela saya jadi petani dan terus membujuk saya untuk
sekolah. “Kamu harus sekolah supaya suatu saat seperti pamanmu, Guru Liku,”
kata Guru Wara. Kalimat ini saya masih ingat sampai sekarang. Sayangnya, saya
malah memilih menjadi wartawan gara-gara termotivasi sebuah tulisan saya yang
dimuat majalah Kunang - kunang terbitan Ende, ketika saya sudah duduk di kls VI
SDN Lambunga.
Oh
ya, teman SD kelas 1-3 waktu itu ada Ibrahim Nuho, Adam Sili Deran, Pak Mansur
Kopong Miten (kini guru di Boleng) dan Natsir Wuring Sanga (kini di Raha, Sulawesi
Tenggara). Setelah itu tinggal saya, Nuho dan Wuring, yang lainnya keluar.
Giliran naik kelas 5, Wuring tertinggal. Pada Saat kelas IV – V, Gunung Boleng
mulai batuk-batuk, warga di sekitar, termasuk Pepak, terpaksa mengungsi. Saya
tinggal di rumah paman di Lango Seng. Lalu di kelas VI baru saya kembali ke
Pepak.
Agar
bisa sekolah, tiap hari kami jalan kaki dari Pepak ke Lambunga sekitar 3
kilometer. Kalau hujan, biasanya baju dan buku-buku kami titip di lemari
sekolah, lalu bermandikan hujan kami pulang ke Pepak sambil bermain air hujan
layaknya anak zaman old-tidak seperti anak zaman now.
Saya
pribadi punya kenangan bersama Guru Ehe. Pak guru ini punya sepeda merek Varus.
Tiap hari ke sekolah dia mengayuh sepeda ini, sama halnya dengan dua kepala sekolah
tadi Pak Wilem Wara dan Pak Rofin Kopong. Biasanya, dalam perjalanan ke
Lambunga atau pulang sekolah, saya selalu diajak Pak Ehe naik sepeda ini. Ada
kebanggaan luar biasa diboceng pak guru. Maklum di zaman old, setiap murid
pastilah takut sama yang namanya bapak dan ibu guru.
Di
zaman itu, siapa yang menjadi Kepala Perwakilan Keluba Golit – biasa cukup
disebut Perwakilan, sejak zaman Pak Vitalis Belili RH, Pak Yusuf Dolu dan Pak
Sius Carvalho-punya tradisi untuk merayakan 2 Mei atau 17 Agustus dengan
pertandingan olah raga tingkat SD, yakni sapak bola putra-putri, bola kasti
putra-putri dan atletik putra – putri. Semua kegiatan itu dipusatkan di
Lapangan Lambunga, kecuali lompat tinggi dan lompat jauh di SDK Lambunga.
Pertandingan
bola kasti putra menjadi kenangan tersendiri buat kami dari SDN Lambunga. Di
babak semifinal, kami harus bertanding melawan tim kuat SDK Pepageka I (dulu
masih menggunakan nama ini, sementara SDK Pepageka 2 di Adobala). Dua sekolah
ini mempunyai murid yang jauh lebih beken dan menjadi langganan juara. Mereka
rata-rata berbadan kekar, tinggi dan tenaga mereka minta ampun. Sekali pukul,
bolanya bisa jatuh ke gereja. Bayangkan, dari lapangan Lambunga ke gereja itu
berapa jauhnya? Mereka tinggal lenggang kangkung dari garis star ke ujung garis
akhir lalu kembali lagi ke garis star. Si pemungut bola belum datang juga.
Motor
SDK Pepageka 1 adalah Goris (Rius) Geroda (kini sudah almarhum). Ketika
semifinal itu, Rius Geroda sempat meledek kami, “Kalau lawan SDN Lambunga,
suruh Boru (nama plesetan Bali, warga kampung saya-yang waktu itu masih kels
III) dan teman-temannya aja yang main”. Rius wajar bicara begitu. Sebab dari
tim kasti SDN Lambunga hanya satu orang yang berbadan besar, yakni Nuho. Yang
lainnya seperti saya: kurus, kerempeng dan tentu tak bertenaga, juga paling
takut kena lemparan bola kasti. Eh…, ternyata kami yang keluar sebagai pemenang
dan menantang SDK Kolimasang di final. Nah ini ujian super berat. Anak-anak SDK
Kolimasang ini tidak hanya tinggi dan besar tapi larinya juga kayak kijang.
Konon mereka ini jago berburu. Bisa ditebak, SDK Kolimasang akhirnya keluar
sebagai juara. Sungguh ini kisah masa lalu yang belum saya temukan lagi.
By the way,
meski aku dipintarkan dari gubuk reot hingga Balai Desa tapi aku bangga dengan
sekolah ini. Ceritra ini sekedar membangkitkan memory terhadap sekolah kita,
SDN Lambunga. Nah, buat para alumni SDN Lambunga, mau gak kita reuni seluruh
angkatan? Pasti asyik loh…. (Teks: Rahman Sabonnama Pepageka)