Info&tanya jawab

Selasa, 29 Mei 2018

Dari Gubuk Reot Hingga Balai Desa Aku Dididik (Catatan Alumni SDN Lambunga)



 
Foto: SDN Lambunga
Di sini saya dididik menjadi manusia. Saya mengalami 2 kepala sekolah. Pak Wilem Wara (Sukutokan) dan Pak Rofin Kopong Tupen (Lamapaha), ayah dari Anton Doni Dihen. Guru agama Islam saya adalah pak Ridwan Bapa Duli dari Weranggere, Witihama.
Guru lain yang terkenal galak tapi baik adalah Pak Bone Beda dari Adobala (almarhum), Pak Ismail Lete dari Pepak dan Pak Usman Kopong dari Witihama, tak lupa guru olah raga pak Burhan Belo (Lambunga) dan Pak Sintu (Lambunga). Tanpa mereka semua, tentu saya tak bisa menulis kisah ini.
Dulu sekolah ini disebut sekolah Islam karena muridnya 99 persen Islam. Sementara yang Katolik sekolah di SDK di sebelahnya. Ada juga yang Katolik tapi biasanya karena bermasalah di sebelah. Sebaliknya juga begitu.
Meski sekolah negeri, gedung SDN Lambunga hanyalah sebuah gubuk reot, berlantai tanah, dinding bambu dan beratap daun kelapa. Celakanya lagi, ka'u alias daun kelapa ini menjadi tanggungan kami murid-muridnya. Nasib-nasib... lokasi sekolah seperti yang ada sekarang ini, tapi agak ke atas lagi dan posisinya memanjang timur ke barat. Karena gubuk reot ini mau ambruk, maka sejak kelas IV, kami pindah ke Balai Desa. Di sini ternyata masih kurang kelas sehingga dibangunlah ruang kelas darurat untuk kelas 5 dan 6, tentu berdinding bambu, lantai tanah dan beratap ka'u alias daun kelapa.
Ketika kelas 6 SD, kami tinggal bertujuh: dari Pepak ada saya dan Nuho, dari Lambunga ada Lebu, Tamrin (almarhum), Kelong dan dari Wuhung Lanang Useng dan Bapa Nur. Tetapi menjelang ujian akhir, Nuho malah keluar. Tinggalah kami berenam sampai tamat sekolah di Balai Desa tadi.

Di rumah Guru Ehe (Hendrik Ehe Beren, Redontena), guru kelas VI saya waktu itu, saya pernah melihat foto kami berenam bersama pak guru ini. Kalau foto itu masih ada, wow….. betapa senangnya kalau aku bisa scan dan menjadi dokumen pribadi saya.
Pertama kali sekolah sebenarnya saya masuk SDK Pepageka tapi karena kepala sekolahnya terlalu “galak” padahal paman sendiri (Guru Liku), akhirnya saya keluar. Lalu diajak Pak Wilem Wara pindah ke SDN Lambunga. Belakangan baru saya tahu, Pak Wilem Wara ini ternyata sepupu ibuku karena nenek saya Bengan Tupen dan nenek Tuto Laba (ibu Guru Wara) adalah saudara kandung, dari “darah” Boro Bebe di Witihama. Pantesan, dia tak rela saya jadi petani dan terus membujuk saya untuk sekolah. “Kamu harus sekolah supaya suatu saat seperti pamanmu, Guru Liku,” kata Guru Wara. Kalimat ini saya masih ingat sampai sekarang. Sayangnya, saya malah memilih menjadi wartawan gara-gara termotivasi sebuah tulisan saya yang dimuat majalah Kunang - kunang terbitan Ende, ketika saya sudah duduk di kls VI SDN Lambunga.
Oh ya, teman SD kelas 1-3 waktu itu ada Ibrahim Nuho, Adam Sili Deran, Pak Mansur Kopong Miten (kini guru di Boleng) dan Natsir Wuring Sanga (kini di Raha, Sulawesi Tenggara). Setelah itu tinggal saya, Nuho dan Wuring, yang lainnya keluar. Giliran naik kelas 5, Wuring tertinggal. Pada Saat kelas IV – V, Gunung Boleng mulai batuk-batuk, warga di sekitar, termasuk Pepak, terpaksa mengungsi. Saya tinggal di rumah paman di Lango Seng. Lalu di kelas VI baru saya kembali ke Pepak.
Agar bisa sekolah, tiap hari kami jalan kaki dari Pepak ke Lambunga sekitar 3 kilometer. Kalau hujan, biasanya baju dan buku-buku kami titip di lemari sekolah, lalu bermandikan hujan kami pulang ke Pepak sambil bermain air hujan layaknya anak zaman old-tidak seperti anak zaman now.
Saya pribadi punya kenangan bersama Guru Ehe. Pak guru ini punya sepeda merek Varus. Tiap hari ke sekolah dia mengayuh sepeda ini, sama halnya dengan dua kepala sekolah tadi Pak Wilem Wara dan Pak Rofin Kopong. Biasanya, dalam perjalanan ke Lambunga atau pulang sekolah, saya selalu diajak Pak Ehe naik sepeda ini. Ada kebanggaan luar biasa diboceng pak guru. Maklum di zaman old, setiap murid pastilah takut sama yang namanya bapak dan ibu guru.
Di zaman itu, siapa yang menjadi Kepala Perwakilan Keluba Golit – biasa cukup disebut Perwakilan, sejak zaman Pak Vitalis Belili RH, Pak Yusuf Dolu dan Pak Sius Carvalho-punya tradisi untuk merayakan 2 Mei atau 17 Agustus dengan pertandingan olah raga tingkat SD, yakni sapak bola putra-putri, bola kasti putra-putri dan atletik putra – putri. Semua kegiatan itu dipusatkan di Lapangan Lambunga, kecuali lompat tinggi dan lompat jauh di SDK Lambunga.
Pertandingan bola kasti putra menjadi kenangan tersendiri buat kami dari SDN Lambunga. Di babak semifinal, kami harus bertanding melawan tim kuat SDK Pepageka I (dulu masih menggunakan nama ini, sementara SDK Pepageka 2 di Adobala). Dua sekolah ini mempunyai murid yang jauh lebih beken dan menjadi langganan juara. Mereka rata-rata berbadan kekar, tinggi dan tenaga mereka minta ampun. Sekali pukul, bolanya bisa jatuh ke gereja. Bayangkan, dari lapangan Lambunga ke gereja itu berapa jauhnya? Mereka tinggal lenggang kangkung dari garis star ke ujung garis akhir lalu kembali lagi ke garis star. Si pemungut bola belum datang juga.
Motor SDK Pepageka 1 adalah Goris (Rius) Geroda (kini sudah almarhum). Ketika semifinal itu, Rius Geroda sempat meledek kami, “Kalau lawan SDN Lambunga, suruh Boru (nama plesetan Bali, warga kampung saya-yang waktu itu masih kels III) dan teman-temannya aja yang main”. Rius wajar bicara begitu. Sebab dari tim kasti SDN Lambunga hanya satu orang yang berbadan besar, yakni Nuho. Yang lainnya seperti saya: kurus, kerempeng dan tentu tak bertenaga, juga paling takut kena lemparan bola kasti. Eh…, ternyata kami yang keluar sebagai pemenang dan menantang SDK Kolimasang di final. Nah ini ujian super berat. Anak-anak SDK Kolimasang ini tidak hanya tinggi dan besar tapi larinya juga kayak kijang. Konon mereka ini jago berburu. Bisa ditebak, SDK Kolimasang akhirnya keluar sebagai juara. Sungguh ini kisah masa lalu yang belum saya temukan lagi.
By the way, meski aku dipintarkan dari gubuk reot hingga Balai Desa tapi aku bangga dengan sekolah ini. Ceritra ini sekedar membangkitkan memory terhadap sekolah kita, SDN Lambunga. Nah, buat para alumni SDN Lambunga, mau gak kita reuni seluruh angkatan? Pasti asyik loh…. (Teks: Rahman Sabonnama Pepageka)

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar